Di penghujung semester 3, kelas saya diberi kesempatan untuk melaksanakan sebuah project dimana kami dibagi menjadi 8 kelompok dan tiap kelompok diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan sebuah Live Instagram mengenai psikopatologis yang terjadi pada fase anak, remaja, dewasa, dan lansia.
Di blog kali ini saya akan memberikan rangkuman dari live
instagram yang dilakukan oleh kelompok 1. Kelompok ini memberikan suatu diskusi
mengenai gangguan psikopatologis yang terjadi pada fase anak. Film “Silenced”
yang rilis pada tahun 2011 menjadi pilihan kelompok ini untuk menjadi pemantik
pembahasan. Narasumber yang dibawakan pun tidak main-main. Seorang dosen
fakultas psikologi UNTAG Surabaya yang bernama ibu Rahma Kusumandari, S.Psi.,
M.Psi., Psikolog menjadi pembicara untuk mengulas apa saja yang ada didalam
film tersebut dan bagaimana hal ini dapat terjadi pula pada kehidupan nyata,
terkhususnya dialami oleh anak-anak. Sebagai catatan pula, film ini didasarkan
pada kisah nyata.
Film ini menceritakan anak-anak sekolah dasar yang diperkosa
oleh kepala sekolah, kepala admin, dan salah satu guru laki-laki. Anak-anak ini
bukanlah anak-anak biasa, mereka adalah anak-anak yang bersekolah di sekolah
yang khusus untuk anak-anak tunarungu. Guru baru dan beberapa orang yang
terlibat hendak menghentikan kejadian yang menimpa anak-anak tersebut namun
mereka terkendala akan banyak hal.
Masuk ke pembahasan utama kita.
Dalam pengertiannya, psikopatologis anak secara gamblang
adalah gangguan-gangguan psikologis pada anak.
Pemerkosaan pada orang dewasa saja kita bisa merasa ngeri,
apalagi jika hal ini terjadi pada anak-anak. Gangguan-gangguan yang muncul pada
anak-anak korban pemerkosaan adalah sebagai berikut. Mereka akan menarik diri
dari lingkungannya, lebih pendiam, hilangnya keceriaan, sulit percaya pada
orang lain dan sebagainya.
Coba kita bayangkan saja, anak-anak adalah individu yang
belum sempurna perkembangan alat seksualnya. Apabila dipaksakan maka hal
tersebut akan sangat menyakitkan bagi anak tersebut. Terlebih lagi jika anak
tersebut adalah seorang anak laki-laki. Banyak predator-predator/ pedofil yang
juga mengincar anak laki-laki dan mereka akan memasukkan (maaf) alat kelamin
mereka ke tempat yang tidak seharusnya. Tentu saja hal tersebut akan membuat
lecet-lecet dan luka pada si anak.
Suatu perdebatan sering terjadi, apakah si anak tersebut
jika dibiasakan maka lama-kelamaan akan menimbulkan kenikmatan pada si anak
tersebut? Kita harus sepakati dulu bersama. Sesuatu yang dipaksakan maka tidak
akan enak. Tidak ada satu orangpun yang suka dipaksa. Ketika si anak tumbuh
besar menjadi pelaku bukan berarti karena ia merasa enak namun ia belajar
bagaimana melukai orang lain dengan cara tersebut. Apalagi jika kita kembali
lagi pada film tersebut ada adegan dimana sang anak dipukuli ketika ia
mengalami pelecehan tersebut. Dia tidak mengerti mengapa hal itu terjadi yang
akhirnya membuat harga diri si anak jatuh. Anak tersebut menjadi anak yang pendiam.
Anak yang berkebutuhan khusus lebih rentan terhadap
pelecehan dibanding dengan anak normal. Ini yang seharusnya diperhatikan oleh
para orang tua yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus.
Kenapa pelecehan seksual bisa terjadi?
Menurut ibu Rahma, pelecehan dapat terjadi oleh sebab tiga
faktor yaitu dari pelaku, korban, maupun orang tua korban.
Pelaku dapat melancarkan aksinya oleh sebab ada kesempatan
yang muncul. Sebuah kejahatan terjadi tidak hanya karena ada niat tetapi juga
karena ada kesempatan. Jika teman-teman pembaca blog ini ada yang bekerja di
bidang pendidikan dan berurusan dengan anak kecil, usahakanlah pada setiap
kegiatan anak-anak hendaknya dilakukan di tempat yang terbuka dan hindari
tempat tempat yang agak pojok, terisolir, dan gelap.
Faktor kedua yaitu korban. Mengapa korban dapat menerima
pelecehan? Biasanya dikarenakan para korban sebelumnya tidak teredukasi dengan
baik mengenai mana saja bagian-bagian tubuh mereka yang boleh disentuh dan
tidak boleh disentuh oleh orang lain. Ada baiknya pendidikan seks sedini mungkin
dilakukan.
Dan yang terakhir adalah faktor orangtua. Kurangnya
pengawasan yang dilakukan pada anak oleh orangtua menjadikan anak menjadi
sasaran empuk. Bisa dibayangkan mau sebaik apapun edukasi yang diberikan pada
anak, ada hal-hal yang menjadi diluar control anak. Kekuatan sang anak untuk menolak
terbatas, disinilah peran orangtua dalam menjaga anak-anak mereka. Orangtua
hendaknya membiasakan dan melindungi anak-anak mereka dengan berpakaian yang
lengkap. Jangan biarkan anak kita hanya memakai celana dalam dan kaos kutang
boleh untuk berkeliaran. Di dalam rumah saja biasakan untuk berpakaian yang
rapi. Kalaupun ada yang berusaha memegang-megang, ajarkan anak untuk berteriak.
Cara pengajaran anak disabilitas memang agak berbeda dengan
anak normal. Perbedaannya ada di bagaimana menyampaikannya. Kita harus lebih
konkrit lagi dalam pengajaran dengan anak-anak disabilitas.
Apabila ada korban pelecehan seksual, dimohon untuk tidak mengulik kembali kejadian-kejadian lampau. Jangan biarkan mereka mengingat-ingat kembali kejadian mengerikan tersebut.
No comments:
Post a Comment