Dalam prakteknya, klien sering menceritakan kasus-kasusnya dalam kata-kata yang cukup ambudarul. Oleh sebab itu kita sebagai praktisi hendaklah memiliki suatu teknik agar kasus klien dapat dijabarkan dengan baik. Pencatatan kasus atau cerita dari klien disebut dengan anamnesa. Anamnesa merupakan prosedur pertama terhadap klien yang berisikan alasan individu, riwayat gangguan, riwayat perkembangan diri, latar belakang sosial, keluarga, dan lain sebagainya. Anamnesa bisa didapatkan dari klien sendiri ataupun pihak-pihak terkait dengan kehidupan klien. Dalam pembuatannya, dibutuhkan protocol yaitu daftar pertanyaan berupa butir-butir yang diperkirakan memiliki makna penting bagi orang tersebut berikut validasi dari datanya. Tidak lupa diingatkan kepada teman-teman bahwasannya pembuatan anamnesa haruslah berurutan ya.
Pencatatan anamnesa haruslah terperinci. Kita tidak boleh mengembangkan sendiri jawaban dari klien. Lalu bagaimana jika jawaban klien agak meragukan? Apakah kita tuliskan pula jawaban klien tersebut? Jawabannya adalah tidak. Kita hendaklah menuliskan apabila ada keraguan dari jawaban klien. Dicatat bahwa klien ragu, bukan ditulis isi jawaban klien yang meragukan tadi. Sehingga pencatatan anamnesa ini haruslah jelas dan tidak memiliki konotasi ambigu. Jika jawabannya berkonotasi ambigu, teman-teman harus menanyakan apa makna jawaban klien tadi karena dikhawatirkan adanya perbedaan persepsi antara klien dan teman-teman sekalian.
Sebelum membuat anamnesa ini memang kita harus sudah tahu terlebih dahulu gambaran kasar dari kasus klien ini sehingga kita dapat mempersiapkan list pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teori yang ingin kita anut. Konsep teoritik ini pun haruslah jelas sehingga kita dapat peka menangkap data-data yang ada. Mengapa demikian? Teman-teman harus menyadari bahwasannya anamnesa yang teman-teman buat nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam pemetaan diagram elemen. Sangat disayangkan jika diagram elem yang teman-teman buat tidak mempunyai data yang cukup atau tidak memiliki korelasi satu sama lain.
Memang tidak dapat dipungkiri anamnesa ini pun memiliki kelemahannya sendiri seperti terhambatnya spontanitas karena kita sudah memiliki portokol-protokol list pertanyaan tadi. Kelemahan lainnya pun adalah kita harus memiliki jam terbang yang cukup dalam observasi terhadap klien sehingga teknik interviewing (probing) kita pun hendaknya mumpuni. Jawaban klien yang berbelit-belit pun agaknya menyusahkan kita dalam menangkap inti permasalahan yang ada. Sehingga dalam memperlengkapi data yang ada, alangkah baiknya jika kita membandingkannya dengan pendapat rekan-rekan kerja kita yang lain. Dan terakhir anamnesa yang bebas dengan teori yang dogmatis haruslah saling melengkapi.
Untuk proses pelaksanaan pertanyaan anamnesa bisa teman-teman lakukan seperti ini. Pada pertemuan pertama klien diminta untuk menguraikan masalahnya. Kita dengarkan saja dulu apa saja keluh kesah dari klien ini. Jangan lupa untuk mendengarkannya dengan penuh perhatian dan komentar yang seperlunya saja ya, jangan sampai mengganggu cerita dari klien. Setelah kita mendengarkan cerita klien, kita dapat menanyakan lebih detail dan apabila dibutuhkan kita dapat memberikan tes-tes psikologi agar mendapatkan hasil yang lebih terperinci. Pada pertemuan berikutnya teman-teman dapat menanyakan pada klien bagaimana kondisi lingkungan dari klien. Lingkungan yang dimaksudkan disini bisa dari sisi keluarganya, rumahnya, kondisi perumahannya, sampai peran dia di organisasi. Memang pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah saklek berurutan seperti yang saya jelaskan. Bisa saja kita tanyakan terlebih dahulu mengenai lingkungannya baru kita tanyakan keluhannya dengan lebih mendetail.
Pada pertemuan pertama dengan pertemuan selanjutnya teman-teman haruslah memperhatikan apakah ada perubahan yang klien alami terutama jika kita menggunakan pendekatan psikoanalisa. Tujuan utama anamnesa ini adalah untuk kita mendapatkan data namun salah satu fungsi lain dari anamnesa ini adalah suatu bentuk katarsis, klien dapat meluapkan emosinya sehingga bebannya berkurang.
Yang teman-teman haruslah catat dalam anamnesa ini adalah kejadian-kejadian sebagai satu unit tingkah laku yang membentuk suatu dinamika sehingga ada interaksinya. Sebagai contoh si A nakal, ia dipukul, lalu apa reaksinya. Kejadian yang merupakan imajinasi klien atau fakta yang distorted juga perlu kita perhatikan. Jangan sampai teman-teman menekankan pada satu masalah tetapi semua permasalahannya dan dicari kaitannya satu sama lain sehingga kita dapat mencari gabungannya sesuai dengan teori yang dipakai.
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Untuk mendiagnosis sebuah gangguan yang dialami oleh klien, kita dapat menggunakan PPDGJ sebagai rujuan kita. Penentuan diagnosis ini pun tidak lepas dari anamnesa yang telah teman-teman buat bersama dengan klien. Cara penggunaannya pun cukup sederhana, terdapat 5 aksis yang harus kita penuhi disana. Aksis I kita isi dengan gangguan klinis serta kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis. Aksis II kita isi dengan gangguan kepribadian dan retardasi mental. Aksis III kita isi dengan kondisi medik umum. Aksis IV kita isi dengan masalah psikososial dan lingkungan. Dan terakhir aksis V kita isi dengan penilaian fungsi secara global.
Sebelum menentukan diagnosis, perlu saya beritahukan jika dalam PPDGJ terdapat hirarki blok-blok diagnosis. Alasan adanya hirarki blok-blok ini adalah bisa saja blok dengan hirarki yang lebih tinggi memiliki ciri-ciri seperti hirarki yang dimiliki pada blok lebih rendah namun tidak sebaliknya. Suatu diagnosis baru dapat dipastikan setelah kemungkinan kepastian diagnosis pada blok atas benar-benar tidak ada.
Sebagai catatan, antara aksis I, II, dan III tidak harus selalu ada hubungan etiologik atau patogenesis. Namun hubungan antara aksis I-II-III dengan aksis IV dapat timbul timbal balik yang saling mempengaruhi.
Tujuan adanya diagnosis ini adalah sebagai bantuan dalam perencanaan terapi serta meramalkan "outcome" atau prognosis.
Aksis I:
Daftar Pustaka:
Sadarjoen, Sawitri Supardi. 2011. Aplikasi Paradigma Psikopatologi pada Kasus Klinis di Indonesia. Bandung: BKU Magister Profesional Psikologi Universitas Padjajaran.
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.